Oleh Dandy Koswaraputra
Proyek pembangkit listrik tenaga air di Kalimantan bagian Indonesia terus berjalan meskipun ada kemunduran baru-baru ini, termasuk penarikan mitra internasional utama PowerChina dan Sumitomo, menurut perusahaan lokal di belakang proyek tersebut.
Proyek Kayan Cascade, sebuah proyek senilai US$17,8 miliar yang dipelopori oleh PT Kayan Hydro Energy (KHE), merupakan rangkaian rencana lima bendungan di sepanjang Sungai Kayan di provinsi Kalimantan Utara yang disebut-sebut sebagai skema pembangkit listrik tenaga air paling luas di Asia Tenggara.
Proyek ini bertujuan untuk menghasilkan listrik hingga 9.000 megawatt, untuk memainkan peran penting dalam strategi energi Indonesia dan untuk mendukung pertumbuhan ibu kota negara baru yang sedang dibangun di pulau Kalimantan, kata para pengembang.
KHE tetap berkomitmen untuk menyelesaikan proyek tersebut meskipun PowerChina dan Sumitomo telah menarik diri, kata Sapta Nugraha, direktur operasi perusahaan.
“Meski terdapat banyak tantangan, proyek ini masih berjalan sesuai rencana. Kami terus berupaya mencapai kemajuan yang diharapkan, sambil tetap terbuka terhadap kemitraan untuk memperkuat dan memaksimalkan nilai tambah proyek ini,” kata Sapta kepada BenarNews minggu ini.
Keluarnya PowerChina disebabkan oleh pembatasan perjalanan terkait pandemi yang menghambat kemampuannya untuk bekerja di lokasi di Indonesia, katanya.
“Selama pandemi COVID-19, Tiongkok menghadapi kesulitan dalam komunikasi dan akses ke Indonesia,” ujarnya.
Penarikan Sumitomo dilaporkan oleh Nikkei Asia pada 31 Mei.
Dimulainya proyek ini pada tahun 2012, yang awalnya bekerja sama dengan PowerChina milik negara Tiongkok, menandai awal dari sebuah perjalanan yang penuh dengan tantangan.
Kekhawatiran para aktivis lingkungan hidup, penentangan lokal, dan kepergian Sumitomo, salah satu pendukung penting Jepang, telah membayangi prospek proyek ini.
Sumitomo dan Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta tidak menanggapi email dari BenarNews yang mencari informasi tentang alasan mereka menarik diri dari proyek tersebut.
Meski mengalami kemunduran, KHE tetap yakin mampu menyelesaikan proyek tersebut secara mandiri jika diperlukan, kata Sapta.
Perusahaan juga aktif mencari mitra baru dan sedang melakukan pembicaraan dengan calon investor lain dari Jepang dan Tiongkok, katanya.
“Saat ini KHE sedang dalam proses penjajakan kerja sama dengan sejumlah calon investor yang menunjukkan minat serius,” kata Sapta.
“Memang ada diskusi dengan entitas Jepang lainnya. Namun, kami tidak asing dengan Tiongkok dan saat ini kami sedang dalam proses [of talking] dengan calon pasangan,” ujarnya.
BenarNews juga menghubungi Agus Cahyono Adi, juru bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Sungai Kayan memang memiliki potensi yang besar dan menjadi andalan kami untuk mendukung pencapaian NZE (net-zero emisi),” ujarnya kepada BenarNews, Jumat, menjawab pertanyaan mengenai status proyek pembangunan lima bendungan dan pembangkit listrik tenaga air di sungai tersebut. sungai.
“Semoga PT KHE (Kayan Hydro Energy) segera mendapatkan mitra investor baru untuk dapat mewujudkan target pengembangannya,” ujarnya.
Namun dukungan pemerintah pusat terhadap proyek ini tidak jelas.
Pada bulan Oktober 2022, Moeldoko, kepala staf Presiden Joko “Jokowi” Widodo, menggambarkan bendungan Kayan sebagai “Proyek Strategis Nasional,” tetapi Agus, juru bicara kementerian, mengatakan kepada BenarNews pada hari Jumat bahwa hal tersebut bukan merupakan proyek strategis nasional.
Pada tahun 2021, dalam upaya mempercepat proyek yang telah lama terhenti, pemerintah mengeluarkan izin pembangunan kepada perusahaan lain, PT Pembangkit Indonesia Epsilon, untuk membangun bendungan di sepanjang sungai.
Namun KHE menggugat Epsilon dan kementerian yang mengeluarkan izin tersebut, dalam kasus yang sampai ke Mahkamah Agung Indonesia, dan akhirnya menang pada November 2023.
Kepala Desa: Air 'terkontaminasi debu'
Di desa Long Peso, Kalimantan Utara, pembangunan pembangkit listrik pertama yang sedang berlangsung telah menimbulkan campuran antisipasi dan kekhawatiran di kalangan penduduk setempat.
Ekskavator, truk dan alat berat lainnya beroperasi di dekat pusat pembangunan Tugu Lima, dimana lebih dari 100 pekerja sedang membangun jalan baru untuk mengakses lokasi bendungan pertama, menurut reporter BenarNews yang mengunjungi lokasi tersebut.
Kepala desa Pulinop Jaui mengatakan pembangunan tersebut menimbulkan kebisingan, debu dan polusi bagi masyarakat yang dulunya damai. Ia sangat prihatin dengan debu akibat aktivitas peledakan, yang menurutnya telah mencemari sumber air desa.
“Dengan banyaknya aktivitas peledakan, air tersebut tidak bisa lagi dianggap air bersih karena sumbernya sudah terkontaminasi debu,” kata Pulinop dalam wawancara telepon dengan BenarNews.
Bertahun-tahun warga meminta agar sumber air bersihnya direlokasi, namun KHE hanya melakukan survei dan tidak memberikan solusi apa pun, ujarnya.
“Kami mencoba meminta update perkembangannya, tapi mereka tidak memberikan informasi apapun,” ujarnya.
Sapta bersama KHE mengatakan proyek tersebut sangat strategis karena akan menyediakan energi hijau untuk proyek-proyek besar nasional di Kalimantan, termasuk ibu kota baru Indonesia, Nusantara, dan kawasan industri baru di Kalimantan Utara.
Tahun ini, perusahaan fokus membangun infrastruktur pendukung bendungan pertama, termasuk akses jalan dan saluran pengalihan untuk mengalihkan sementara aliran sungai, kata Sapta.
“Kami telah menetapkan jadwal yang ketat dan berkomitmen untuk memenuhi semua tenggat waktu yang ditetapkan. Dengan memperkuat manajemen proyek dan menambah sumber daya di lapangan, kami yakin dapat mencapai target penyelesaian pada tahun 2029,” ujarnya.
Tantangan terbesarnya adalah pembebasan lahan
Yayan Satyakti, ekonom energi di Universitas Padjadjaran, mengatakan salah satu kendala terbesar adalah pembebasan lahan, yang merupakan aspek penting dalam setiap proyek pembangkit listrik tenaga air karena dampaknya terhadap kinerja turbin dan keberlanjutan secara keseluruhan.
“Proses pembebasan lahan sudah berlangsung relatif lama,” kata Yayan kepada BenarNews.
“Dalam proyek PLTA, ini adalah aspek yang paling krusial dan harusnya sudah selesai sebelum proyek tersebut ditawarkan kepada investor, terutama asing. Ketidakpastian ini kemungkinan besar menjadi alasan mundurnya Sumitomo,” ujarnya.
Yayan menekankan bahwa keluarnya Sumitomo bukanlah pertanda positif bagi iklim investasi energi di Indonesia, dan hal ini sejalan dengan tantangan serupa di sektor panas bumi.
Ia merujuk pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2018 yang mengungkapkan bahwa produsen listrik independen (IPP) harus mengurus 30 izin untuk setiap proyek. Meskipun ada perubahan peraturan pada tahun 2021, Yayan yakin iklim investasi belum membaik secara signifikan.
Yayan menyatakan skeptis bahwa KHE dapat menyelesaikan satu dari lima bendungan pada tahun 2029. Bahkan jika pembebasan lahan selesai tahun ini, mencapai target tahun 2029 akan menjadi tantangan, dengan perkiraan yang lebih realistis yaitu penyelesaian sebesar 40% hingga 60%.
“Jika pembebasan lahan masih belum jelas, wajar jika Sumitomo melakukan divestasi,” kata Yayan.
Senada dengan Yayan, aktivis lingkungan hidup setempat Wastaman mengatakan rencana relokasi warga terdampak di dua desa, Long Lejuh dan Long Pelban, masih belum jelas. Desa-desa tersebut memiliki jumlah penduduk gabungan sebanyak 1.217 jiwa, menurut data dari Kabupaten Bulungan.
“Tidak ada kepastian untuk menjalani kehidupan yang layak ketika sumber penghidupan mereka hilang,” kata Wastaman, direktur Asosiasi Lingkar Hutan Lestari (PLHL), kepada BenarNews.
Ia mengatakan, perusahaan harus memberikan mata pencaharian alternatif sebelum menggusur warga.
“Nah, ini yang belum terjadi,” kata Wastaman, sapaan akrabnya.
Norjannah di Tanjung Selor, Kalimantan Utara dan Pizaro Gozali Idrus di Jakarta berkontribusi pada laporan ini.